Senin, 24 Agustus 2015

Kekhalifahan Islam Dari Masa Ke Masa


Kekhalifahan adalah suatu keniscayaan yang telah dijanjikan Allah. Ia adalah suatu amanat yang Allah tawarkan kepada petala langit, bumi, dan gunung-gunung, namun mereka enggan menerimanya, kemudian manusia menerima dan basersedia memikul beban kekhalifahan itu.
Manusia pertama yang dijadikan Allah sebagai khalifah adalah Adam ‘Alaihissalam. Sesuai firman Allah dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30. Kemudian menyusul para nabi dan Rasul sebagai khalifah fil ‘ardl, hingga nabi Muhammad Shalallahu’alaihiwassalam, khalifah terakhir dari kalangan para Nabi dan Rasul. Akan tetapi kekhalifahan tidaklah berakhir dengan berakhirnya pengutusan Nabi.
Rasulullah mengisyaratkan bahwa sepeninggal beliau tidak ada lagi Nabi, namun kekhalifahan tetap berlanjut dalam bentuk “Al-Jama’ah”  yang dipimpin oleh manusia biasa yang bukan Nabi, yang disebut Khalifah.
Khalifah pertama yang bukan dari kalangan Nabi dan Rasul adalah Abu Bakar As Shiddiq Radhiallahuanhu. Disusul kemudian oleh tiga Khalifah berikutnya yang disebut Khalifah Rasyidah atau Al Khulafa’ur Rasyidun, kemudian dilanjutkan oleh para Khalifah Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, dan Utsmaniyyah di Turki yang berakhir tahun 1924 M.
Mengenali Al-Jama’ah
Sebagaimana kita maklum bahwa khilafah pada mulanya adalah berupa sebuah jama’ah kecil. Hanya saja ketika jama’ah sudah kuat dan besar maka tegaklah kekhalifahan secara utuh. Khalifah selanjutnya tinggal melanjutkan dari pendahulu mereka.
Perguliran khalifah, ada yang ditentukan dengan penunjukan dari khalifah sebelumnya seperti Umar bin Khattab t, ada pula yang dipilih melalui musyawarah ahlul halli wal aqdi seperti Utsman Bin Affan t  atau dengan kesepakatan sebagian kaum muslimin.
Namun ketika kepemimpinan kaum muslimin itu terputus, maka untuk membangunnya kembali harus dirintis mulai dengan membentuk Jama’ah dengan sistim kekhalifahan seperti yang dilakukan Nabi Muhammad Shalallahu’alaihiwassalam.
Tidak seperti Abu Bakar yang tinggal meneruskan kekhalifahan yang dirintis oleh Rasulullah.
Kekhalifahan adalah sebuah jama’ah, baik ketika ia masih kecil dan lemah ataupun ketika ia sudah semakin besar dan kuat. Oleh sebab itu Rasulullah senantiasa mewasiatkan agar kita tetap iltizam kepada Jama’ah kaum muslimin dan imamnya.
Sementara dalam kenyataan dilapangan, banyak bentuk dan model jama’ah yang kita temukan, sehingga menuntut kita untuk memilih. Ketika dia banyak, Rasulullah menyebutnya sebagai firqoh. Ada tujuh puluh tiga firqoh. Beliau tidak mengatakan 72 firqoh dan 1 jama’ah, tapi 73 firqoh, semuanya di Neraka kecuali satu. Ya, kecuali satu firqoh, itulah Al Firqotun Najiyah, yaitu yang menyerupai Beliau dan para sahabat, itulah Al-Jama’ah. Biasa juga disebut At Tho’ifah Al Manshuuroh. Inilah jamaah yang benar  yang harus kita pilih.

Menentukan Sikap
Berangkat dari ayat 59 surah An Nisaa’, setiap orang beriman diwajibkan memiliki tiga bentuk pembuktian ketaatan; yaitu taat kepada Allah, taat kepada Rasul dan kepada Ulil Amri diantara mereka.
Allah I tentunya sudah tahu bakal ada perselisihan dalam melaksanakan tiga ketaatan ini. Maka pada ayat selanjutnya Allah memberi batasan agar dapat meminimalisir konflik, yaitu dengan membatasi referensi dan rujukan.
Firman Allah; Jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikan kepada Allah dan RasulNya, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih baik dan lebih utama takwilnya (4:59).
Sebelum kita membicarakan lebih jauh tentang tiga ketaatan ini, maka terlebih dahulu kita sepakati untuk hanya merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Jika rujukan dibiarkan meluas kepada pendapat para Ulama’, maka bersiaplah untuk perdebatan yang tak berujung dan tak bertepi.
Akankah kita terus berselisih tentang seseorang yang akan mengimami kita sementara azan sudah dikumandangkan dan waktu shalat sudah tiba? Akankah kita terus berselisih tentang syarat seorang imam, sementara kita masih berpecah belah?
Ketika Rasulullah wafat, para sahabat segera menentukan sikap, jama’ah kaum muslimin tidak boleh dibiarkan tanpa imam. Rasulullah yang tadinya sebagai pemimpin mereka kini telah wafat, tidak mungkin ber-imam kepada orang yang telah wafat meskipun Nabi.
Maka segera di bai’at Abu Bakar sebagai Khalifatu Rasulillah (pengganti Rasulullah), meski saat pembai’atan itu terjadi masih ada beberapa sahabat besar yang belum setuju. Bahkan tidak kurang dari tiga ribu orang Islam kala itu tidak setuju dan tidak mau menyetorkan zakatnya kepada Abu Bakar, sebagaimana yang biasa mereka setorkan kepada Rasulullah.
Khalifah Abu Bakar ra. memerangi mereka…! Karena masa itu ada kekuatan dan ada kepemimpinan yang solid.

Ketika keutuhan jamaah kaum muslimin di zaman Imam Ali t tidak mampu lagi dipertahankan, terjadilah dualisme kepemimpinan, Ali dan Muawiyah.
Bisa dibayangkan betapa sulit menentukan sikap kala itu. Ali t adalah sahabat Rasulullah, Muawiyah juga sahabat dan juga pernah ikut berperang bersama Rasulullah. Lebih berat lagi bagi mereka yang tadinya berpihak dan fanatik kepada Ali, namun secara defacto dan de jure, kepemimpinan beralih ketangan Muawiyah setelah peristiwa tahkim. Alangkah sulitnya menentukan sikap.
Bagaimanapun, tidak ada pembenaran bagi mereka yang kala itu tidak ada bai’at dilehernya hingga mati. Tidak ada pembenaran bagi mereka yang mengambil sikap sebagaimana khawarij, yang tidak berbai’at kapada Ali maupun Muawiyah.
Sejarah kemudian mencatat bahwa setelah Ali bin Abi Thalib t wafat, maka kaum muslimin berada dalam kemelut yang semakin memuncak. Sebahagian kaum muslimin yang fanatik kepada Imam Ali bersepakat untuk membai’at putra beliau yaitu Hasan bin Ali. Sementara sebahagian yang lain tetap bersikukuh pada bai’at mereka pada Muawiyah.
Mereka yang berada dipihak Muawiyah menyatakan bahwa bai’at terhadap Hasan bin Ali adalah tidak sah, karena tidak dibenarkan membaiat khalifah sementara sudah ada Muawiyah yang telah dibai’at terlebih dahulu sebagai Khalifah.
Sementara mereka yang berada dipihak Ali menyatakan bahwa bai’at atas Muawiyah juga tidak sah karena beliau dibai’at ketika masih ada khalifah, yaitu Ali.
Hal demikian berlangsung selama lebih kurang enam bulan lamanya hingga kaum muslimin bersepakat untuk bersatu dan hanya dipimpin oleh seorang khalifah saja. Al Hasan bin Ali memutuskan untuk mundur demi keutuhan jamaah dan demi kemaslahatan kaum muslimin.
Maka mulai saat itu khalifah kaum muslimin adalah Muawiyah, tahun bersejarah itu dikenal dengan nama “Aamul Jamaa’ah” (tahun menyatunya kaum Muslimin).
Periode baru dalam kekhalifahan islam pun dimulai, yaitu kepemimpinan islam yang oleh Rasulullah disebut sebagai Mulkan (kerajaan/dinasti). Kepemimpinan berikutnya dilanjutkan oleh putranya yaitu Yazid dan seterusnya Bani Umayyah menjadi Khalifah sebagai Mulkan ‘Aaddlon (kerajaan yang menggigit).
Meski banyak ulama’ yang memprotes dan mengutuk kekejaman beberapa khalifah dari dinasti Muawiyah ini, namun tidak ada pembenaran untuk membangkang atau memberontak.
Bani Umayyah memimpin hingga tahun 750 M. kemudian dilanjutkan oleh Bani Abbasiyah di Baghdad.
Ketika Bani Abbasiyyah tidak mampu lagi mempertahankan eksistensi kekhalifahan di Baghdad, pada tahun 656 H/1258 M, maka berakhirlah masa mulkan ‘aaddlon. Allah telah mengangkat masa ini selama tiga setengah tahun.
Masa ini disebut masa kekosongan, bukan karena pada masa itu tidak ada penguasa. Ada bangsa Tartar (Mongol) yang terkenal dengan kekuatan bala tentaranya yang besar, demikian juga kerajaan Inggris, dan lain-lain. Bahkan, sebagian besar wilayah kaum muslimin(termasuk Baghdad sebagai pusat peradaban Islam saat itu) dikuasai oleh pasukan Genghis Khan (bangsa Tartar) dari Mongol. Wilayah-wilayah Islam saat itu juga dipaksa menggunakan Ilyasiq sebagai sumber hukum dalam mangatur kehidupan masyarakat dibawah kekuasaan bangsa Tartar. Namun, semua bentuk kepemimpinan itu tidak dianggap ada dalam literatur kepemimpinan Islam. Karena memang bukan kepemimpinan Islam. Periode kepemimpinan mereka tidak termasuk yang dinubuwatkan oleh Rasulullah r.
Setelah tiga setengah tahun Ummat Islam hidup dalam kegelapan bagai ayam yang kehilangan induk, kondisi di Baghdad semakin hari semakin kacau, dan semakin mustahil untuk membangun kembali puing puing kekhalifahan disana.
Al Mustanshir Billah II, seorang putra dari bani Abbasiyah menghimpun kesatuan ummat di Mesir. Mengambil bai’at dari kaum muslimin yang ada disana. Mulai dari beberapa orang hingga tumbuh menjadi besar. Al Mustanshir terus saja menggalang persatuan hingga semakin banyak kaum muslimin yang sadar akan pentingnya membangun kembali kekhalifahan, setidaknya, inilah yang mampu mereka lakukan saat itu agar Ummat Islam punya Ulil Amri yang mereka taati sesuai perintah Allah dalam Qur’an Surat An-Nisa 59.
Akhirnya jama’ah kecil ini berhasil juga menghimpun kekuatan. Tahun  660 H/1261M, tegaklah kembali Khilafah Islamiyah meski dalam kondisi yang masih sangat lemah.
Hanya satu tahun al Mustanshir menjadi khalifah kemudian digantikan oleh Al Haakim Biamrillah yang memimpin dengan keras dan tegas, bahkan sangat berhati-hati hingga terkesan berlebihan. Hal ini dinilai wajar, akibat pengalaman pahit yang pernah dialami pendahulunya yang pernah digulingkan. Kepemimpinannya berlangsung selama 40 tahun.
Dari sini dimulailah babak baru kepemimpinan Islam yang disebut oleh Rasulullah sebagai Mulkan Jabariyan (kerajaan yang memaksa). Sebuah kepemimpinan yang akhirnya dicatat sejarah sebagai pelanjut Khilafah Islamiyah. Kekhalifahan ini berlanjut hingga tahun 1517M yang ditutup oleh kepemimpinan Al Mutawakkil Alallah III. Maka berakhirlah kekhalifahan Islam yang berpusat di Mesir.
Selanjutnya, di dataran Turkistan, seorang yang bernama Salim, langsung menyambut estafeta kepemimpinan Islam, hingga berdirilah sebuah kota terkenal di turki yang disebut Islam Bull, sekarang Istambul. Inilah kekhalifahan Utsmaniyah yang merupakan pelanjut sistem yang ada sebelumnya, hingga tahun 1342H/1924M.
Tiba pula saatnya kekhalifahan Turki Utsmani yang merupakan kelanjutan dari Mulkan Jabariyan ini untuk diangkat Allah. Iapun mengalami keruntuhan. Sejak saat itu ummat Islam kembali hidup tanpa naungan seorang khalifah.
Kondisi ini berlangsung cukup lama, hingga hampir delapan puluhan tahun ummat islam hidup tanpa naungan seorang khalifah. Yahudi dan nasrani berhasil memporak porandakan persatuan kaum muslimin. Ketiadaan khalifah dalam rentang waktu yang cukup lama ini membuat kaum muslimin bingung dalam melaksanakan berbagai perintah dalam al Qur’an yang merupakan amal jama’i.
Sejak ketiadaan khalifah, perintah taat kepada ulil amri, tidak lagi dinisbatkan kepada khalifah. Ulil Amri sudah bukan lagi khalifah. Para ulama mulai menafsirkan ulil amri sebagai guru mengaji mereka, yang kepadanya mereka menyetorkan zakat mereka. Ada juga yang menafsirkan ulil amri adalah ketua organisasi mereka, atau kepala kampung mereka, atau raja, bahkan presiden atau perdana menteri.
Siapapun yang berkuasa, dialah yang disebut ulil amri. Alangkah besar musibah yang menimpa ummat ini.
Sebagaimana masa kekosongan sebelumnya, bukan berarti zaman ini tidak ada penguasa. Banyak penguasa di zaman ini yang menguasai wilayah-wilayah kaum muslimin, namun bukan dalam sistem kepemimpinan Islam, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai bagian dari literatur kepemimpinan kaum muslimin sebagaimana yang dinubuwatkan oleh Rasulullah.
Hingga tahun 1997 seorang hamba Allah memaklumatkan kekhalifahan di Indonesia dan menyerukan kepada seluruh kaum muslimin sedunia untuk segera bersatu padu menyambut dan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah (Khilafatul Muslimin).
Tentu saja ini bukan pekerjaan yang mudah, perlu pribadi pribadi berjiwa besar dan keberuntungan yang agung untuk berani menentukan sikap. Beliau bernama Abdul Qadir Baraja’, seorang berketurunan Arab dari Yaman yang lahir di Indonesia, negeri paling timur dari negeri Islam terdahulu.
Penentangan terhadap babak baru kekhalifahan ini berkisar pada sah atau tidaknya seorang Abdul Qadir Baraja’ untuk disebut sebagai khalifah. Mana wilayah kekuasaannya, berapa bala tentara yang dimiliki, apa yang dapat dilakukan khalifah untuk menolong kaum muslimin yang teraniaya di berbagai penjuru dunia, serta sudahkah para ulama dunia turut merestui kekhalifahan beliau.
Diantara para Ulama berpendapat bahwa kekhalifahan ini tidak sah karena tidak memenuhi syarat dan kriteria yang layaknya harus dimiliki oleh seorang khalifah. Kriteria dan syarat yang dimaksud diantaranya;
– Khalifah barulah dikatakan sah jika mampu menegakkan hukum syariat secara kaffah (menyeluruh),
– Punya wilayah kekuasaan,
– Punya bala tentara dan dapat mengayomi kaum muslimin secara keseluruhan.
Pertanyaannya, jika baiat terhadap seorang khalifah baru dianggap sah apabila sudah memenuhi persyaratan dimaksud, maka siapakah yang akan melakukan semua itu?
Jika tidak ada khalifah, tidak ada baiat, tidak ada sam’an wa tho’atan lalu dengan cara bagaimana semua persyaratan itu dapat diwujudkan….?
Istiqomah Hingga Akhir
Sesungguhnya mereka yang mengatakan Rabb kami Allah kemudian istiqomah, niscaya turun kapada mereka para malaikat, jangan lah takut ataupun bersedih hati, dan berilah berita gembira dengan syurga yang telah dijanjikan. Ketika seorang muslim telah yakin dengan jalan yang ditempuhnya, maka hendaknya tetap istiqomah hingga akhir hayat.
Semoga kita termasuk orang orang yang tulus dan jujur untuk dipilih Allah sebagai pelaku dan pelaksana tegaknya kekhalifahan diakhir zaman ini yang oleh Rasulullah saw disebut Khilafah ‘ala minhaajin nubuwwah. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar